Pages

Rabu, 07 Mei 2014

Hubungan Kausalitas Kebijakan Politik dengan Pemberontakan di Indonesia Tahun 1948-1965




1.                  Peristiwa Madiun tahun 1948
Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era 
Orde Lama, peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru, peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
Dalam kasus ini terkait dengan keadaan politik Indonesia yang tidak sesuai menurut pandangan Musso. Usaha yang dilakukan oleh Musso dikenal dengan Jalan Baru Musso yang berisikan kritik terhadap apa yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia selama proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945. Dimana dalam kritikan tersebut ia berusaha untuk menggunakan paham komunis sebagai landasan Negara Indonesia.

2.                  SEJARAH DI/TII
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan CisayongTasikmalayaJawa Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.
Pemberontakan yang berbasis Islam ini terjadi sebagai akibat perbedaan pandangan terkait konstitusi yang dijalankan pasca perjanjian Renville. Kartosuwiryo menggunakan isu perang suci (jihad) dalam usahanya untuk dapat memperoleh dukungan dari berbagai gologan khususnya Islam. Usahanya bukanlah usaha yang sia-sia, beberapa orang besar dari berbagai wilayah di Indonesia bergabung dengan Kartosuwiryo seperti Ibnu Hadjar (Kalses), Daud Beureureh (Jawa tengah), dan Kahar Muzakkar (Sulsel). Salah satu yang menarik ialah Kahar Muzakkar yang berasal dari dalam tubh TNI. Memang benar bahwa ia berasal dari dalam tubuh TNI namun terkait dengan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah akhirnya ia berbalik memberontak melawan pemerintah Indonesia.

3. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
           
Mulai tanggal 17 Agustus 1950 kabinet RIS dibawah pimpinan pimpinan Moh. Hatta berakhir dan berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai suatu negara yang baru diakui kedaulatannya, indonesia masih harus menghadapi rongrongan dari dalam yang dialkukan oleh beberapa golongan yang mendapat dukungan dari Belanda atau mereka yang khawatir akan kehilangan hak-haknya bila Belanda meninggalkan Indonesia. Salah satunya Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. APRA bertujuan untuk mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan adanya tentara pada negara-negara bagian RIS. Gerakan APRA terdiri dari 800 orang, 300 orang diantaranya adalah anggota KL (Koninklijk Leger) bersenjata, lengkap, menyerang Kota Bandung pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950.
            Salah satu gerakan terselebung dari gerakan tersebut adalah kepercayaan rakyat akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia telah lama menderita akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Rakyat Indonesia mendambakan suatu kemakmuran seperti yang diramalkan “Jangka Jayabaya”. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana.

4. Pemberontakan Andi Aziz
            Pemberontakan ini dilatarbelakangi oleh sikap Andi Aziz yang menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dari TNI ke Sulawesi Selatan. Kapten Andi Aziz adalah seorang perwira KNIL yang abru diterima ke dalam APRIS. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama-sama dengan pasukan KNIL yang berada di bawah menggabungkan diri ke dalam APRIS dihadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, panglima tentara dan teritorium Indonesia Timur. Pada waktu itu keadaan Makassar sedang bergejolak karena timbulnya demonstrasi yang dilakukan rakyat anti federal dengan rakyat yang mendukung sistem federal. Selain itu, tanggal 5 April 1950 terdengar berita bahwa pemerintah RIS mengirimkan sekitar 900 pasukan APRIS ke Makassar.
            Kesatuan APRIS yang berasal dari TNI dipimpin oleh Mayor Worang. Mereka diangkut dengan dua kapal dan berlabuh di pelabuhan Makassar. Berita ini mengkhawatirkan pasukan APRIS bekas KNIL yang takut akan terdesak oleh pasukan-pasukan baru. Mereka kemudian bergabung dan menamakan diri pasukan bebas di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Pada jam 05.00 pagi, Andi Azis beserta pasukannya menyerang markas TNI di Makassar. Pertempuran tak dapat dihindarkan, tetapi karena pasukan APRIS jumlahnya lebih sedikit dari gerombolan Andi Azis, maka dalam waktu singkat kota Makassar dapat dikuasai gerombolan Andi Azis. Beberapa orang prajurit TNI jatuh menjadi korban dan beberapa orang perwira termasuk Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta ditawan.


5. Sejarah Terbentuknya Republik Maluku Selatan RMS
            Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
            Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.
            Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.


6. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
            Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidak harmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah seperti berikut.
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. 
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
            Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis. Langkah berikutnya tanggal 12 Februari 1958 KSAD A.H. Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah dan selanjutnya menempatkan langsung di bawah KSAD Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr. Syafruddin Prawiranegara.

7. Gerakan 30-S/PKI
            Berbicara mengenai masalah Gerakan 30-S/PKI membuat kita terngiang akan peristiwa yang sangat menyedihkan itu. Banyak nyawa yang hilang, baik dari pihak sipil ataupun pihak yang dianggap para simpatisan PKI yang dibunuh (dimusnahkan tahun 1965). Masalah terbunuhnya para Jenderal juga tidak luput dari sorotan akan sejarah peristiwa kelam tersebut.
            Hingga kini kita masih menganggap peristiwa bersejarah tersebut sebagai peristiwa yang sangat kontroversial. Bagaimana tidak, masalah siapa yang menajdi dalang dari peristiwa tersebut masih menjadi perbincangan yang panas didengar. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah tersebut kental akan politik. Sementara kita tahu bahwa pemberontakan tersebut terkait dengan masalah partai.
            Aidit masih menjadi tokoh sentral dalam Gerakan 30-S/PKI tersebut meskipun banyak yang menganggap ada tokoh yang menjadi dalang dari itu semua. Pada majalah Tempo halaman 7-8 (Online) sempat dipublikasikan seberapa besar peranan Aidit dalam gerakan tersebut. Berikut cuplikan tulisannya.
Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan 8
Darat. Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno. Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pimpinan pelaksana gerakan. Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita." Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Dalam hal ini kita tidak akan membahas siapa saja korban yang jatuh dalam Gerakan 30-S/PKI karena kita kebanyakan sudah mengetahuinya. Pembelajaran yang perlu ditekankan adalah mengapa Gerakan 30-S/PKI dilakukan pada 30 September 1965. Atau secara singkat, mengapa tahun 1965 dipilih menjadi tahun saat pemberontakan tersebut dilakukan.
Tanda tanya yang demikian sebenarnya cukup tersurat pada kutipan di atas. Aksi yang dilakukan juga sebenarnya perlu dikaji lebih dalam lagi, karena meskipun sudah cukup banyak yang membahas tetapi hal tersbut masih cenderung menutupi apa yang menjadi kebenaran. Hal tersebutlah yang membuat perlunya ketelitian yang tinggi.
            Para Perwira Tinggi TNI menjayang menjadi korban adalah para Perwira Tinggi yang memiliki kedudukan dekat dengan Presiden kala itu. Dari sini kita bisa sedikit mengambil gambaran bahwa ini bisa dikatakan sebuah usaha pembunuhan atau lebih halusnya usaha kudeta terhadap Presiden dengan menyingkirkan para penjaganya.
            Setelah terjadinya aksi pada malam 30 September 1965 tersebut yang mengakibatkan jatuhnya para Perwira Tinggi TNI dilakukan usaha penumpasan. Dimana-mana dilakukan penumpasan anti PKI. Bahkan Presiden Soekarno geram akan hal ini, terbukti dari apa yang ia lakukan yang salah satunya, Untuk menyelesaikan masalah ini, pada 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno telah memanggil semua panglima Angkatan Darat ke Istana Bogor (Soejono & Leirissa, 2010: 489).
            Penumpasan simpatisan PKI memang banyak dilakukan oleh orang-orang biasa, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari peranan militer yang ada didalamnya. Banser dari golongan Ansor juga memiliki peran penting. Di Jawa Timur sendiri juga banyak terjadi penumpasan (baca Pengakuan Algojo 1965 yang dipublikasikan oleh Tempo tahun 2013).

3 komentar:

  1. tapi kebijakan politiknya tahun 1948-1965 apa ya kak. makasih kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. kebijakan politiknya sangat kompleks. dari pemerintahan Indonesia Serikat, Parlementer hingga Presidensil lagi.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.